TAUHID
Seiring
dengan perkembangan jaman atau arus globlaisasi saat ini, muncul berbagai macam
aliran-aliran dalam agama. Termasuk agama islam. Telah di sampaikan bahwa islam
agama yang di ridhoi oleh Allah swt akan terbagi menjadi kurang lebih 73
aliran. Sekarang ini sudah mulai bermunculan aliran-aliran yang tidak sesuai
dengan ajaran islam (aliran sesat). Seperti ; Ahmadiyah, NII, JIL, dan masih
banyak lagi. Disini kami akan membahas mengenai Jaringan Islam Liberal. Yaitu
mengenai apa yang dimaksud JIL, pokok pikiran beserta tokoh-tokohnya.
A. Jaringan Islam liberal
Ø
Islam
Liberal di Indonesia (Era Orde Baru)
Sejak
awal tahun 1970-an, bersamaan dengan munculnya Orde Baru yang memberikan
tantangan tersendiri bagi umat Islam, beberapa cendekiawan Muslim mencoba
memberikan respon terhadap situasi yang dinilai tidak memberi kebebasan
berpikir. Kelompok inilah yang kemudian memunculkan ide-ide tentang
“Pembaharuan Pemikiran Islam”. Kelompok ini mencoba menafsirkan Islam tidak
hanya secara tekstual tetapi justru lebih ke penafsiran kontekstual. Mereka
dapat digolongkan sebagai Islam Liberal dalam arti menolak taklid, menganjurkan
ijtihad, serta menolak otoritas bahwa hanya individu atau kelompok tertentu
yang berhak menafsirkan ajaran Islam.
Menurut
Fachri Aly dan Bactiar Effendi (1986: 170-173) terdapat sedikitnya empat versi
Islam liberal, yaitu modernisme, universalisme, sosialisme demokrasi, dan neo
modernisme. Modernisme mengembangkan pola pemikiran yang menekankan pada aspek
rasionalitas dan pembaruan pemikiran Islam sesuai dengan kondisi-kondisi
modern. Tokoh-tokoh yang dianggap mewakili pemikiran modernisme antara lain
Ahmad Syafii Ma`arif, Nurcholish Madjid, dan Djohan Effendi. Adapun
universalisme sesungguhnya merupakan pendukung modernisme yang secara spesifik
berpendapat bahwa, pada dasarnya Islam itu bersifat universal. Betul bahwa
Islam berada dalam konteks nasional, tetapi nasionalisasi itu bukanlah tujuan
final Islam itu sendiri. Karena itu, pada dasarnya, mereka tidak mengenal
dikotomi antara nasionalisme dan Islamisme. Keduanya saling menunjang. Masalah
akan muncul kalau Islam yang me-nasional atau me-lokal itu menyebabkan
terjadinya penyimpangan terhadap hakikat Islam yang bersifat universal. Pola
pemikiran ini, secara samar-samar terlihat pada pemikiran Jalaluddin Rahmat, M.
Amien Rais, A.M. Saefuddin, Endang Saefudin Anshari dan mungkin juga Imaduddin
Abdul Rahim.
Pola
pemikiran sosialisme–demokrasi menganggap bahwa kehadiran Islam harus memberi
makna pada manusia. Untuk mencapai tujuan ini, Islam harus menjadi kekuatan
yang mampu menjadi motivator secara terus menerus dalam berbagai aspek
kehidupan manusia. Para pendukung sosialis-demokrasi melihat bahwa struktur
sosial politik dan, terutama, ekonomi di beberapa Negara Islam termasuk
Indonesia, masih belum mencerminkan makna kemanusiaan, sehingga dapat dikatakan
belum Islami. Proses Islamisasi, dengan demikian, bukanlah sesuatu yang
formalistik. Islamisasi dalam refleksi pemikiran mereka adalah karya-karya
produktif yang berorientasi kepada perubahan-perubahan sosial ekonomi dan
politik menuju terciptanya masyarakat yang adil dan demokratis. Adi Sasono, M.
Dawam Rahardjo, serta Kuntowidjojo dapat dimasukkan dalam pola pemikiran ini.
Sedangkan
Neo Modernisme mempunyai asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan dalam proses
pergulatan modernisme. Bahkan kalau mungkin, Islam diharapkan menjadi leading
ism (ajaran-ajaran yang memimpin) di masa depan. Namun demikian, hal itu tidak
berarti menghilangkan tradisi keislaman yang telah mapan. Hal ini melahirkan
postulat (dalil) al-muhâfazhat `alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdu bi al-jadîd
al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang
lebih baik). Pada sisi lain, pendukung neo modernisme cenderung meletakkan
dasar-dasar keislaman dalam konteks atau lingkup nasional. Mereka percaya bahwa
betapapun, Islam bersifat universal, namun kondisi-kondisi suatu bangsa, secara
tidak terelakkan, pasti berpengaruh terhadap Islam itu sendiri. Ada dua tokoh
intelektual yang menjadi pendukung utama neo modernisme ini adalah Nurcholish
Madjid dan Abdurrahman Wahid. Tampaknya pemikiran Nurcholish (Prisma, nomor
ekstra, 1984: 10-22), lebih dipengaruhi oleh ide Fazlur Rahman, gurunya di
Universitas Chicago, Amerika Serikat. Sedang pemikiran neo modernisme
Abdurrahman Wahid telah dibentuk sejak awal karena ia dibesarkan dalam kultur
ahlussunnah wal jama’ah versi Indonesia, kalangan NU. Karena itu, ide-ide
keIslamannya tampak jauh lebih empiris, terutama dalam pemikirannya tentang
hubungan Islam dan politik. (Prisma, Nomor ekstra, 1984: 3-9; dan Prisma, 4
April 1984: 31-38).
C. Islam
Liberal di Indonesia (Era Reformasi)
Sejak
akhir tahun 1990an muncul kelompok-kelompok anak muda yang menamakan diri
kelompok “Islam Liberal” yang mencoba memberikan respon terhadap
permasalahan-permasalahan yang muncul pada akhir abad ke- 20. Majelis Ulama
Indonesia melihat betapa bahayanya pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh
kelompok ini, sehingga pada Munasnya yang ke-7 pada tanggal 25-29 Juli 2005
mengeluarkan fatwa bahwa pluralisme, sekularisme dan liberalisme merupakan
paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Oleh sebab itu umat Islam
haram hukumnya mengikuti paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama
(Adian Husaini, t.th: 2-4). Dalam Keputusan MUI No. 7/MUNAS VII/11/2005
dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan liberalisme adalah memahami nash-nash
agama (Al-Qur’an dan As-Sunnah) menggunakan akal pikiran yang bebas, dan hanya
menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.
Islam
liberal di Indonesia era reformasi nampak lebih nyata setelah didirikannya
sebuah “jaringan” kelompok diskusi pada tanggal 8 Maret 2001, yang tujuannya
adalah untuk kepentingan pencerahan dan pembebasan pemikiran Islam Indonesia.
Usahanya dilakukan dengan membangun milis ( Islamliberal@yahoo.comAlamat e-mail
ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya
). Kegiatan utama kelompok ini adalah berdiskusi tentang hal-hal yang berkaitan
dengan Islam, Negara, dan isu-isu kemasyarakatan. Menurut hasil diskusi yang
dirilis pada tanggal 1 Maret 2002, Jaringan Islam Liberal (JIL) mengklaim telah
berhasil menghadirkan 200 orang anggota diskusi yang berasal dari kalangan para
penulis, intelektual dan para pengamat politik. Di antara mereka muncul
nama-nama seperti; Taufik Adnan Amal, Rizal Mallarangeng, Denny JA, Eep
Saefullah Fatah, Hadimulyo, Ulil Abshar-Abdalla, Saiful Muzani, Hamid Basyaib,
Ade Armando dan Luthfi Asysyaukani. Tentu tidak semua orang yang hadir diskusi
berarti mendukung ide-ide JIL.
Diskusi
awal yang diangkat oleh JIL adalah seputar definisi dan sikap Islam Liberal
seputar isu-isu Islam, negara dan isu-isu kemasyarakatan. Pendefinisian Islam
Liberal diawali dengan kajian terhadap buku Kurzman yang memilah tradisi
keislaman dalam tiga kategori yakni, customary Islam, fundamentalis atau
Wahabis atau Salafis, dan liberal Islam. Kategori ketiga diklaim sebagai
koreksi dan respon terhadap dua kategori yang disebut pertama. Pertanyaan yang
muncul dalam diskusi awal itu adalah apakah Islam Liberal di Indonesia akan
bersifat elitis dan sekedar membangun wacana atau Islam Liberal yang
menyediakan refleksi empiris, dan memiliki apresiasi terhadap realitas? Kalau
Islam Liberal itu paralel dengan civic-culture (pro pluralisme, equal
opportunity, moderasi, trust, tolerance, memiliki sence of community yang
nasional, lalu di mana Islamnya? Atau Islam Liberal adalah skeptisisme dan
agnostisme yang hidup dalam masyarakat Islam? Diskusi dalam milis yang panjang
akhirnya tidak menyepakati sebuah definisi tentang Islam Liberal. Tetapi mereka
menandai sebuah gerakan dan pemikiran yang mencoba memberikan respon terhadap
kaum modernis, tradisional, dan fundamentalis.
Islam
Liberal berkembang melalui media massa. Surat kabar utama yang menjadi corong
pemikiran Islam Liberal adalah Jawa Pos yang terbit di Surabaya, Tempo di
Jakarta dan Radio Kantor Berita 68 H, Utan Kayu Jakarta. Melalui media tersebut
disebarkan gagasan-gagasan dan penafsiran liberal. Pernah suatu ketika,
pemikiran dan gerakan ini menuai protes bahkan ancaman kekerasan dari
lawan-lawan mereka. Bahkan masyarakat sekitar Utan Kayu pernah juga menuntut
Radio dan komunitas JIL untuk pindah dari lingkungan tersebut. Karya-karya yang
dicurigai sebagai representasi pemikiran liberal Islam dibicarakan dan dikutuk
oleh lawan-lawannya, terutama melalui khutbah dan pengajian. Buku seperti Fiqih
Lintas Agama (Tim Penulis Paramadina), Menjadi Muslim Liberal (Ulil
Abshar-Abdalla) Counter-Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Musda Mulia dkk),
Indahnya Perkawinan Antar Jenis (Jurnal IAIN Walisongo) dan banyak lagi artikel
tentang Islam yang mengikuti arus utama pemikiran liberal. Ketegangan antara
yang pro dan kontra JIL, memuncak setelah keluarnya Fatwa MUI tentang haramnya
Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme pada tahun 2005. Ketegangan sedikit
menurun setelah salah seorang kontributor dan sekaligus kordinator JIL, Ulil
Abshar-Abdalla pergi ke luar negeri, belajar ke Amerika Serikat.
Ulil
melalui bukunya Menjadi Muslim Liberal menolak jenis-jenis tafsir keagamaan
yang hegemonik, tidak pluralis, antidemokrasi, yang menurutnya potensial
menggerogoti persendian Islam sendiri. Dengan gaya narasi dan semantik yang
lugas, Ulil misalnya melancarkan kritiknya kepada MUI yang dalam amatannya
telah memonopoli penafsiran atas Islam. Fatwa MUI yang menyatakan bahwa
pluralisme, liberalisme, dan sekularisme adalah faham sesat; Ahmadiyah adalah
keluar dari Islam – telah menyalakan emosi Ulil yang nyaris tak terkendali.
Pemikiran
Ulil tidak bebas seratus persen. Sebagai alumni pesantren, ia tetap apresiatif
terhadap keilmuan pesantren. Melalui kolomnya On Being Muslim kita tahu bahwa
Ulil ternyata mendapatkan akar-akar liberalisme pemikiran keislamannya juga
dari ilmu-ilmu tradisional seperti ushûl al-fiqh, qawâ`id al-fiqhiyah yang
dahulu diajarkan oleh para ustadznya di pesantren. Ilmu-ilmu pesantren semacam
balaghah dan mantiq (logika) tampaknya turut melatih Ulil perihal bagaimana
menstrukturkan kata dan kalimat, mensistematisasikan argumen serta mengukuhkan
kekuatan dalam bernalar.
Sayangnya,
hanya kalangan fundamentalis saja yang mencoba melakukan perlawanan retorik.
Majalah seperti Sabili, Hidayatullah, dan media-media di lingkungan Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia mencoba untuk memberikan counter opini terhadap
gagasan-gagasan yang diusung oleh JIL. Setelah Ulil pergi, dinamika pemikiran
dan gerakan Islam kontemporer kembali adem ayem.
Di antara
pendapat-pendapat kaum pendukung Islam liberal adalah sebagai berikut (Hartono
Ahmad Jaiz, 2005: 109-110):
1.
Al-Quran adalah teks dan harus dikaji dengan hermeneutika
2.
Kitab-kitab tafsir klasik itu tidak diperlukan lagi
3.
Poligami harus dilarang
4. Mahar
dalam perkawinan boleh dibayar oleh suami atau isteri
5. Masa
iddah juga harus dikenakan kepada laki-laki, baik cerai hidup ataupun cerai
mati
6.
Pernikahan untuk jangka waktu tertentu boleh hukumnya
7.
Perkawinan dengan orang yang berbeda agama dibolehkan kepada laki-laki atau
perempuan muslim
8. Bagian
warisan untuk anak laki-laki dan anak perempuan sama 1:1
9. Anak
di luar nikah yang diketahui secara pasti ayah biologisnya tetap mendapatkan
hak warisan dari ayahnya.
D. Profil
Beberapa Kelompok Islam Liberal Di Indonesia
1.
Jaringan Islam Liberal di Jakarta
Nong
Darol Mahmada dan Burhanuddin dalam Imam Tholkhah dan Neng Dara Affiah (2005:
301-351) menjelaskan, JIL terbentuk pada tangal 9 Maret 2001. Tanggal tersebut
merujuk pada awal diluncurkannya milis islamliberal@yahoogroups.comAlamat
e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk
melihatnya yang pada awalnya beranggotakan puluhan aktivis intelektual muda
dari berbagai kelompok muslim moderat.
JIL
berdiri antara lain karena kondisi sosial keagamaan pasca Orde Baru yang
menurut para pendiri JIL dirasakan semakin menunjukkan wajah Islam yang tidak
ramah dan cenderung menampilkan konservatisme. Dalam pandangan para tokoh JIL,
publik saat itu diwarnai dengan pemahaman masalah sosial keagamaan yang radikal
dan anti-pluralisme. Kondisi inilah yang kemudian mendorong beberapa aktivis
muda untuk melakukan berbagai diskusi di Jalan Utan Kayu 68 H Jakarta Timur.
Kemudian dengan merujuk kepada tempat itulah maka beberapa tokoh muda Islam
mendirikan Komunitas Islam Utan Kayu yang merupakan cikal bakal berdirinya JIL.
Beberapa nama yang terlibat untuk membentuk Komunitas Utan Kayu itu dan
kemudian mendirikan JIL antara lain Ulil Abshar-Abdalla, Nong Darol Mahmada,
Burhanuddin, Ihsan Ali Fauzi, Hamid Basyaib, Taufiq Adnan Amal, Saiful Mujani,
dan Luthfi Assaukanie. Beberapa tema yang menjadi bahan diskusi di antara
aktivis tersebut antara lain: maraknya kekerasan atas nama agama, gencarnya
tuntutan penerapan syariat Islam, serta tidak adanya gerakan pembaruan
pemikiran Islam yang sebelumnya dirintis oleh Nurcholish Madjid dan Abdurrahman
Wahid.
Nama
Islam liberal, menurut para pendiri JIL, adalah menggambarkan komunitas Islam
yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial politik
yang ada. Menurut para aktivis JIL, Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran
tertentu atas Islam dengan landasan sebagai berikut:
1.
Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi;
2.
Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks;
3.
Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural;
4.
Memihak pada yang minoritas dan tertindas;
5.
Meyakini kebebasan beragama;
6.
Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrowi, otoritas keagamaan dan politik. Islam
liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan.
Secara
umum, kegiatan-kegiatan JIL ditujukan untuk turut memberikan kontribusi dalam
meredakan maraknya fundamentalisme keagamaan di Indonesia sekaligus membuka
pemahaman publik terhadap pemahaman keagamaan yang pluralis dan demokratis.
Secara khusus, kegiatan-kegiatan JIL ditujukan untuk:
1.
Menciptakan intellectual discourses tentang isu-isu keagamaan yang pluralis dan
demokratis serta berperspektif gender;
2.
Membentuk intllectual community yang bersifat organik dan responsif serta
berkemauan keras untuk memperjuangkan nilai-nilai keagamaan yang suportif
terhadap pemantapan konsolidasi demokrasi di Indonesia;
3.
Menggulirkan intellectual networking yang secara aktif melibatkan jaringan
kampus, Lembaga Swadaya Masyarakat, media massa dan lain-lain untuk menolak
fasisme atas nama agama.
Sebagaimana
sebuah pemikiran baru, selalu menimbulkan pro dan kontra. Demikian juga dengan
JIL. Sikap pro-kontra terhadap JIL dapat dipetakan menjadi dua yaitu dalam
bentuk fisik dan intelektual. Dalam bentuk intelektual dapat dilihat dari
terbitnya berbagai buku baik yang menghujat maupun menanggapi secara positif.
Beberapa penulis yang menentang JIL yang dibukukan antara lain Adian Husaini,
Adnin Armas, Yudhi R. Haryono, Hartono Ahmad Jaiz, dan Fauzan al-Anshari.
Sementara itu ada juga yang mencoba berpikir obyektif ilmiah, menjadikan JIL
sebagai fokus bahasan untuk menyusun skripsi, tesis, maupun disertasi.
Sementara
itu, sebagian kelompok masyarakat Islam menganggap bahwa pemikiran JIL dianggap
dapat merusak aqidah umat Islam. Oleh karena itu mereka menentangnya dalam
bentuk kekerasan fisik. Hal itu antara lain dalam bentuk demontrasi oleh Front
Pembela Islam (FPI). Beberapa kali milis yang dikelola JIL juga mendapat
serangan spam dan dibajak oleh hacker-hacker. Sementara itu Forum Ulama Umat
Islam (FUUI) di Bandung mengeluarkan fatwa mati kepada Ulil sebagai ketua JIL.
Institusi JIL juga semakin diributkan setelah keluar fatwa MUI yang
mengharamkan faham liberalisme, sekularisme dan pluralisme.
B. Pokok Pikiran Jaringan Islam Liberal
Islam
Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan
sebagai berikut:
a. Membuka
pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
Islam
Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman
adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala
cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan,
adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan
mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan
dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual),
dan ilahiyyat (teologi).
b. Mengutamakan
semangat religio etik, bukan makna literal teks.
Ijtihad
yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan
semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam
semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal
hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat
religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian
dari peradaban kemanusiaan universal.
c. Mempercayai
kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
Islam
Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran
keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah
kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab
setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan
benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah
cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus
berubah-ubah.
d. Memihak
pada yang minoritas dan tertindas.
Islam
Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang
tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan
praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat
Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas
agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan ekonomi.
e. Meyakini
kebebasan beragama.
Islam
Liberal meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah
hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak
membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau
kepercayaan.
f. Memisahkan
otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Islam
Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam
Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk
negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang
memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat
mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk
menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan
urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.
2.
Mengapa disebut Islam Liberal?
Nama
“Islam liberal” menggambarkan prinsip-prinsip yang kami anut, yaitu Islam yang
menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur
sosial-politik yang menindas. “Liberal” di sini bermakna dua: kebebasan dan
pembebasan. Kami percaya bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab
pada kenyataannya Islam ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan
penafsirnya. Kami memilih satu jenis tafsir, dan dengan demikian satu kata
sifat terhadap Islam, yaitu “liberal”. Untuk mewujudkan Islam Liberal, kami
membentuk Jaringan Islam Liberal (JIL).
3.
Mengapa Jaringan Islam Liberal?
Tujuan
utama kami adalah menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada
masyarakat. Untuk itu kami memilih bentuk jaringan, bukan organisasi
kemasyarakatan, maupun partai politik. JIL adalah wadah yang longgar untuk
siapapun yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam Liberal.
4.
Apa misi JIL?
Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang
liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang kami anut, serta menyebarkannya
kepada seluas mungkin khalayak.
Kedua,
mengusahakan terbukanya
ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme. Kami yakin, terbukanya
ruang dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat.
Ketiga, mengupayakan terciptanya struktur sosial
dan politik yang adil dan manusiawi.
C. Tokoh –tokoh Jaringan Islam Liberal
Ø Tokoh-tokoh
Awal Islam Liberal di Indonesia
1. KH. Abdurrahman Wahid. Tokoh NU -Nahdlatul Ulama- dan pernah menjadi Presiden Republik Indonesia 1999-2001 yang diturunkan oleg MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) pimpinan Amien Rais dalam sidangnya, karena kasus dana Bulog (Badan Urusan Logistik). Tokoh yang sebutannya Gus Dur ini dikenal nyeleneh, di antaranya melontarkan bahwa lafal Assalamu’alaikum bisa saja diganti dengan selamat pagi.
2. Prof. Dr. Nurcholish Madjid. Alumni Chicago Amerika (1984/1985) dikenal melontarkan gagasan sekularisasi dan menerjemahkan kalimat syahadat menjadi “tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar).
3. Ahmad Wahib (mendiang). Orang HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang diasuh oleh beberapa pendeta Nasrani kemudian kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat – Teologi Katholik Driyarkara di Jakarta. Dia sangat liberal dan berfaham semua agama sama, hingga Karl Marx pun surganya sama dengan surga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
4. Djohan Effendi. Orang HMI yang resmi menjadi anggota Ahmadiyah di Yogyakarta, dan memasarkan faham liberal dan pluralisme agama dengan Ahmad Wahib dalam training-training HMI. Kemudian menyunting buku “Catatan Harian Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam” bersama Ismet Nasir keluaran Driyarkara sebagaimana Ahmad Wahib. Buku itu menggegerkan umat Islam tahun 1982, dan oleh MUI -Majelis Ulama Indonesia- Pimpinan KH. Syukri Ghazali dan KH. Hasan Basri, buku itu harus dicabut. Namun buku itu didukung oleh bekas menteri agama, Mukti Ali, dan surat dari Litbang Departemen Agama dengan alasan bahwa buku itu ilmiah. Pemprotes utama selain MUI dan para pemuda Islam adalah Prof. Dr. HM. Rasjidi mantan Menteri Agama RI pertama.
1. KH. Abdurrahman Wahid. Tokoh NU -Nahdlatul Ulama- dan pernah menjadi Presiden Republik Indonesia 1999-2001 yang diturunkan oleg MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) pimpinan Amien Rais dalam sidangnya, karena kasus dana Bulog (Badan Urusan Logistik). Tokoh yang sebutannya Gus Dur ini dikenal nyeleneh, di antaranya melontarkan bahwa lafal Assalamu’alaikum bisa saja diganti dengan selamat pagi.
2. Prof. Dr. Nurcholish Madjid. Alumni Chicago Amerika (1984/1985) dikenal melontarkan gagasan sekularisasi dan menerjemahkan kalimat syahadat menjadi “tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar).
3. Ahmad Wahib (mendiang). Orang HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang diasuh oleh beberapa pendeta Nasrani kemudian kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat – Teologi Katholik Driyarkara di Jakarta. Dia sangat liberal dan berfaham semua agama sama, hingga Karl Marx pun surganya sama dengan surga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
4. Djohan Effendi. Orang HMI yang resmi menjadi anggota Ahmadiyah di Yogyakarta, dan memasarkan faham liberal dan pluralisme agama dengan Ahmad Wahib dalam training-training HMI. Kemudian menyunting buku “Catatan Harian Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam” bersama Ismet Nasir keluaran Driyarkara sebagaimana Ahmad Wahib. Buku itu menggegerkan umat Islam tahun 1982, dan oleh MUI -Majelis Ulama Indonesia- Pimpinan KH. Syukri Ghazali dan KH. Hasan Basri, buku itu harus dicabut. Namun buku itu didukung oleh bekas menteri agama, Mukti Ali, dan surat dari Litbang Departemen Agama dengan alasan bahwa buku itu ilmiah. Pemprotes utama selain MUI dan para pemuda Islam adalah Prof. Dr. HM. Rasjidi mantan Menteri Agama RI pertama.
Ø Daftar 50
TOKOH JIL INDONESIA
A. Para Pelopor
1. Abdul Mukti Ali
2. Abdurrahman Wahid
3. Ahmad Wahib
4. Djohan Effendi
5. Harun Nasution
6. M. Dawam Raharjo
7. Munawir Sjadzali
8. Nurcholish Madjid
B. Para Senior
9. Abdul Munir Mulkhan
10. Ahmad Syafi’i Ma’arif
11. Alwi Abdurrahman Shihab
12. Azyumardi Azra
13. Goenawan Mohammad
14. Jalaluddin Rahmat
15. Kautsar Azhari Noer
16. Komaruddin Hidayat
17. M. Amin Abdullah
18. M. Syafi’i Anwar
19. Masdar F. Mas’udi
20. Moeslim Abdurrahman
21. Nasaruddin Umar
22. Said Aqiel Siradj
23. Zainun Kamal
C. Para Penerus “Perjuangan”
24. Abd A’la
25. Abdul Moqsith Ghazali
26. Ahmad Fuad Fanani
27. Ahmad Gaus AF
28. Ahmad Sahal
29. Bahtiar Effendy
30. Budhy Munawar-Rahman
31. Denny JA
32. Fathimah Usman
33. Hamid Basyaib
34. Husein Muhammad
35. Ihsan Ali Fauzi
36. M. Jadul Maula
37. M. Luthfie Assyaukanie
38. Muhammad Ali
39. Mun’im A. Sirry
40. Nong Darol Mahmada
41. Rizal Malarangeng
42. Saiful Mujani
43. Siti Musdah Mulia
44. Sukidi
45. Sumanto al-Qurthuby
46. Syamsu Rizal Panggabean
47. Taufik Adnan Amal
48. Ulil Abshar-Abdalla
49. Zuhairi Misrawi
50. Zuly Qodir
A. Para Pelopor
1. Abdul Mukti Ali
2. Abdurrahman Wahid
3. Ahmad Wahib
4. Djohan Effendi
5. Harun Nasution
6. M. Dawam Raharjo
7. Munawir Sjadzali
8. Nurcholish Madjid
B. Para Senior
9. Abdul Munir Mulkhan
10. Ahmad Syafi’i Ma’arif
11. Alwi Abdurrahman Shihab
12. Azyumardi Azra
13. Goenawan Mohammad
14. Jalaluddin Rahmat
15. Kautsar Azhari Noer
16. Komaruddin Hidayat
17. M. Amin Abdullah
18. M. Syafi’i Anwar
19. Masdar F. Mas’udi
20. Moeslim Abdurrahman
21. Nasaruddin Umar
22. Said Aqiel Siradj
23. Zainun Kamal
C. Para Penerus “Perjuangan”
24. Abd A’la
25. Abdul Moqsith Ghazali
26. Ahmad Fuad Fanani
27. Ahmad Gaus AF
28. Ahmad Sahal
29. Bahtiar Effendy
30. Budhy Munawar-Rahman
31. Denny JA
32. Fathimah Usman
33. Hamid Basyaib
34. Husein Muhammad
35. Ihsan Ali Fauzi
36. M. Jadul Maula
37. M. Luthfie Assyaukanie
38. Muhammad Ali
39. Mun’im A. Sirry
40. Nong Darol Mahmada
41. Rizal Malarangeng
42. Saiful Mujani
43. Siti Musdah Mulia
44. Sukidi
45. Sumanto al-Qurthuby
46. Syamsu Rizal Panggabean
47. Taufik Adnan Amal
48. Ulil Abshar-Abdalla
49. Zuhairi Misrawi
50. Zuly Qodir
Ø Sementara dalam internet milik mereka, ada
sejumlah nama. Kami kutip sebagai berikut: “Beberapa nama kontributor JIL
(Jaringan Islam Liberal, pen) adalah sebagai berikut:
• Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
• Charles Kurzman, University of North Carolina.
• Azyumardi Azra, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
• Abdallah Laroui, Muhammad V University, Maroko.
• Masdar F. Mas’udi, Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Jakarta.
• Goenawan Mohammad, Majalah Tempo, Jakarta.
• Edward Said Djohan Effendi, Deakin University, Australia.
• Abdullah Ahmad an-Naim, University of Khartoum, Sudan.
• Asghar Ali Engineer.
• Nasaruddin Umar, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
• Mohammed Arkoun, University of Sorbone, Prancis.
• Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina, Jakarta.
• Sadeq Jalal Azam, Damascus University, Suriah.
• Said Agil Siraj, PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Jakarta.
• Denny JA, Universitas Jayabaya, Jakarta.
• Rizal Mallarangeng, CSIS, Jakarta.
• Budi Munawar Rahman, Yayasan Paramadina, Jakarta.
• Ihsan Ali Fauzi, Ohio University, AS.
• Taufiq Adnan Amal, IAIN Alauddin, Ujung Pandang.
• Hamid Basyaib, Yayasan Aksara, Jakarta.
• Ulil Abshar Abdalla, Lakpesdam-NU, Jakarta.
• Luthfi Assyaukanie, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
• Saiful Mujani, Ohio State University, AS.
• Ade Armando, Universitas Indonesia, Depok – Jakarta.
• Syamsurizal Panggabean, Universitas Gajahmada, Yogyakarta.
Mereka itu diperlukan untuk mengkampanyekan program penyebaran gagasan keagamaan yang pluralis dan inklusif. Program itu mereka sebut “Jaringan Islam Liberal” (JIL).
• Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
• Charles Kurzman, University of North Carolina.
• Azyumardi Azra, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
• Abdallah Laroui, Muhammad V University, Maroko.
• Masdar F. Mas’udi, Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Jakarta.
• Goenawan Mohammad, Majalah Tempo, Jakarta.
• Edward Said Djohan Effendi, Deakin University, Australia.
• Abdullah Ahmad an-Naim, University of Khartoum, Sudan.
• Asghar Ali Engineer.
• Nasaruddin Umar, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
• Mohammed Arkoun, University of Sorbone, Prancis.
• Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina, Jakarta.
• Sadeq Jalal Azam, Damascus University, Suriah.
• Said Agil Siraj, PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Jakarta.
• Denny JA, Universitas Jayabaya, Jakarta.
• Rizal Mallarangeng, CSIS, Jakarta.
• Budi Munawar Rahman, Yayasan Paramadina, Jakarta.
• Ihsan Ali Fauzi, Ohio University, AS.
• Taufiq Adnan Amal, IAIN Alauddin, Ujung Pandang.
• Hamid Basyaib, Yayasan Aksara, Jakarta.
• Ulil Abshar Abdalla, Lakpesdam-NU, Jakarta.
• Luthfi Assyaukanie, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
• Saiful Mujani, Ohio State University, AS.
• Ade Armando, Universitas Indonesia, Depok – Jakarta.
• Syamsurizal Panggabean, Universitas Gajahmada, Yogyakarta.
Mereka itu diperlukan untuk mengkampanyekan program penyebaran gagasan keagamaan yang pluralis dan inklusif. Program itu mereka sebut “Jaringan Islam Liberal” (JIL).
Tidak ada kegiatan manusia yang
sempurna didunia ini yang ada hanyalah kegiatan yang berusaha untuk sempurna.
Dari semua pembahasan yang telah dijabarkan oleh penulis tentunya masih banyak
kekurangan. Karena penulis hanya manusia biasa yang bisa membuat kesalahan yang
tidak disengaja. Puji syukur atas nikmat Allah SWT penulis telah merampungkan
makalah ini. Sehingga dapat kesimpulan dan saran :
Kesimpulan
Bahwa Jaringan Islam Liberal (JIL)
adalah kelompok yang membawa pahamliberalisme yaitu memahami nash-nash agama
(al-Qur’an dan As-sunah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas dan hanya
menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai denagn akal pikiran
semata.danPluralism e adalah paham yang mengajarkan kita bahwa semua agama itu
sama.
Saran
Janganlah kita sekali-kali mengikuti
pemikiran-pemikiran sesat mereka (JIL). Karena akan membawa kita kedalam
kesesatan didalam memahami agama Islam itu sendiri.
Kepada orang yang telah mengikuti paham
JIL, kita menganjurkan segeralah bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat.
DAFTAR PUSTAKA
Handrianto
Budi, 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia : Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme dan
Liberalisme, Hujjah Press (kelompok Penerbit Al Kautsar,2007).
www.tokoh-tokoh JIL.com
www.jaringan islam liberal.com
No comments:
Post a Comment