AKIDAH
Nilai
suatu ilmu itu ditentukan oleh kandungan ilmu tersebut. Semakin besar dan
bermanfaat nilainya semakin penting untuk dipelajarinya. Ilmu yang paling
penting adalah ilmu yang mengenalkan kita kepada Allah SWT, Sang Pencipta.
Sehingga orang yang tidak kenal Allah SWT disebut kafir meskipun dia Profesor
Doktor, pada hakekatnya dia bodoh. Adakah yang lebih bodoh daripada orang yang
tidak mengenal yang menciptakannya?
Allah
menciptakan manusia dengan seindah-indahnya dan selengkap-lengkapnya dibanding
dengan makhluk / ciptaan lainnya. Kemudian Allah bimbing mereka dengan mengutus
para Rasul-Nya (Menurut hadits yang disampaikan Abu Dzar bahwa jumlah para Nabi
sebanyak 124.000 semuanya menyerukan kepada Tauhid (dikeluarkan oleh Al-Bukhari
di At-Tarikhul Kabir 5/447 dan Ahmad di Al-Musnad 5/178-179). Sementara dari
jalan sahabat Abu Umamah disebutkan bahwa jumlah para Rasul 313 (dikeluarkan
oleh Ibnu Hibban di Al-Maurid 2085 dan Thabrani di Al-Mu'jamul Kabir 8/139))
agar mereka berjalan sesuai dengan kehendak Sang Pencipta melalui wahyu yang
dibawa oleh Sang Rasul. Namun ada yang menerima disebut mu'min ada pula yang
menolaknya disebut kafir serta ada yang ragu-ragu disebut Munafik yang
merupakan bagian dari kekafiran. Begitu pentingnya Aqidah ini sehingga Nabi
Muhammad, penutup para Nabi dan Rasul membimbing ummatnya selama 13 tahun
ketika berada di Mekkah pada bagian ini, karena aqidah adalah landasan semua
tindakan. Dia dalam tubuh manusia seperti kepalanya. Maka apabila suatu ummat
sudah rusak, bagian yang harus direhabilitisi adalah kepalanya lebih dahulu.
Disinilah pentingnya aqidah ini. Apalagi ini menyangkut kebahagiaan dan
keberhasilan dunia dan akherat. Dialah kunci menuju surga.
Aqidah
secara bahasa berarti sesuatu yang mengikat. Pada keyakinan manusia adalah
suatu keyakinan yang mengikat hatinya dari segala keraguan. Aqidah menurut
terminologi syara' (agama) yaitu keimanan kepada Allah, Malaikat-malaikat,
Kitab-kitab, Para Rasul, Hari Akherat, dan keimanan kepada takdir Allah baik
dan buruknya. Ini disebut Rukun Iman.
Dalam
syariat Islam terdiri dua pangkal utama. Pertama : Aqidah yaitu keyakinan pada
rukun iman itu, letaknya di hati dan tidak ada kaitannya dengan cara-cara
perbuatan (ibadah). Bagian ini disebut pokok atau asas. Kedua : Perbuatan yaitu
cara-cara amal atau ibadah seperti sholat, puasa, zakat, dan seluruh bentuk
ibadah disebut sebagai cabang. Nilai perbuatan ini baik buruknya atau diterima
atau tidaknya bergantung yang pertama. Makanya syarat diterimanya ibadah itu
ada dua, pertama : Ikhlas karena Allah SWT yaitu berdasarkan aqidah islamiyah
yang benar. Kedua : Mengerjakan ibadahnya sesuai dengan petunjuk Rasulullah
SAW. Ini disebut amal sholeh. Ibadah yang memenuhi satu syarat saja, umpamanya
ikhlas saja tidak mengikuti petunjuk Rasulullah SAW tertolak atau mengikuti
Rasulullah SAW saja tapi tidak ikhlas, karena faktor manusia, umpamanya, maka
amal tersebut tertolak. Sampai benar-benar memenuhi dua kriteria itu. Inilah
makna yang terkandung dalam Al-Qur'an surah Al-Kahfi 110 yang artinya : "Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada
Tuhannya."
Manfaat Mempelajari Aqidah
Karena Aqidah
Islamiyah bersumber dari Allah yang mutlak, maka kesempurnaannya tidak
diragukan lagi. Berbeda dengan filsafat yang merupakan karya manusia, tentu
banyak kelemahannya. Makanya seorang mu'min harus yakin kebenaran Aqidah
Islamiyah sebagai poros dari segala pola laku dan tindakannya yang akan
menjamin kebahagiannya dunia akherat. Dan merupakan keserasian antara ruh dan
jasad, antara siang dan malam, antara bumi dan langit dan antara ibadah dan
adat serta antara dunia dan akherat. Faedah yang akan diperoleh orang yang
menguasai Aqidah Islamiyah adalah :
1. Membebaskan
dirinya dari ubudiyah / penghambaan kepada selain Allah, baik bentuknya
kekuasaan, harta, pimpinan maupun lainnya.
2. Membentuk
pribadi yang seimbang yaitu selalu kepada Allah baik dalam keadaan suka maupun
duka.
3. Dia merasa aman
dari berbagai macam rasa takut dan cemas. Takut kepada kurang rizki, terhadap
jiwa, harta, keluarga, jin dan seluruh manusia termasuk takut mati. Sehingga
dia penuh tawakkal kepad Allah (outer focus of control).
4. Aqidah memberikan
kekuatan kepada jiwa , sekokoh gunung. Dia hanya berharap kepada Allah dan
ridho terhadap segala ketentuan Allah.
Aqidah Islamiyah
adalah asas persaudaraan / ukhuwah dan persamaan. Tidak beda antara miskin dan
kaya, antara pinter dan bodoh, antar pejabat dan rakyat jelata, antara kulit
putih dan hitam dan antara Arab dan bukan, kecuali takwanya disisi Allah SWT.
A.
Pengertian Aqidah
‘Aqidah
(اَلْعَقِيْدَةُ) menurut bahasa
Arab (etimologi) berasal dari kata al-‘aqdu (الْعَقْدُ) yang berarti
ikatan, at-tautsiiqu(التَّوْثِيْقُ) yang
berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (اْلإِحْكَامُ) yang artinya
mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (الرَّبْطُ بِقُوَّةٍ) yang berarti
mengikat dengan kuat.
[1] Sedangkan menurut istilah (terminologi): ‘aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.
Jadi, ‘Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah ازوجلّ dengan segala pelaksanaan ke-wajiban, bertauhid [2] dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih.
"Dan
barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama
dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para
shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka
itulah teman yang sebaik-baiknya" (QS. An-Nisa':69
B.
Pembagian Aqidah
Walaupun
masalah qadha' dan qadar menjadi ajang perselisihan di kalangan umat Islam,
tetapi Allah telah membukakan hati para hambaNya yang beriman, yaitu para Salaf
Shalih yang mereka itu senantiasa rnenempuh jalan kebenaran dalam pemahaman dan
pendapat. Menurut mereka qadha' dan qadar adalah termasuk rububiyah Allah atas
makhlukNya. Maka masalah ini termasuk ke dalam salah satu di antara tiga macam
tauhid menurut pembagian ulama:
Pertama:
Tauhid Al-Uluhiyyah,
ialah mengesakan Allah dalam ibadah, yakni beribadah hanya kepada Allah dan
karenaNya semata.
Kedua:
Tauhid Ar-Rububiyyah,
ialah rneng esakan Allah dalam perbuatanNya, yakni mengimani dan meyakini bahwa
hanya Allah yang Mencipta, menguasai dan mengatur alam semesta ini.
Ketiga:
Tauhid Al-Asma'
was-Sifat, ialah mengesakan Allah dalam asma dan sifatNya.
Artinya mengimani bahwa tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah Subhanahu wa
Ta'ala. dalam dzat, asma maupun sifat.
Iman
kepada qadar adalah termasuk tauhid ar-rububiyah. Oleh karena itu Imam Ahmad
berkata: "Qadar adalah kekuasaan Allah". Karena, tak syak lagi, qadar
(takdir) termasuk qudrat dan kekuasaanNya yang menyeluruh. Di samping itu,
qadar adalah rahasia Allah yang- tersembunyi, tak ada seorangpun yang dapat
mengetahui kecuali Dia, tertulis pada Lauh Mahfuzh dan tak ada seorangpun yang
dapat melihatnya. Kita tidak tahu takdir baik atau buruk yang telah ditentukan
untuk kita maupun untuk makhluk lainnya, kecuali setelah terjadi atau
berdasarkan nash yang benar
Tauhid
itu ada tiga macam, seperti yang tersebut di atas dan tidak ada istilah
Tauhid Mulkiyah ataupun Tauhid Hakimiyah karena istilah ini adalah istilah
yang baru. Apabila yang dimaksud dengan Hakimiyah itu adalah kekuasaan Allah
Azza wa Jalla, maka hal ini sudah masuk ke dalam kandungan Tauhid Rububiyah.
Apabila yang dikehendaki dengan hal ini adalah pelaksanaan hukum Allah di muka
bumi, maka hal ini sudah masuk ke dalam Tauhid Uluhiyah, karena hukum itu milik
Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak boleh kita beribadah melainkan hanya kepada
Allah semata. Lihatlah firman Allah pada surat Yusuf ayat 40. [Al-Ustadz Yazid
bin Abdul Qadir Jawas]
C.
Perkembangan Aqidah
Pada
masa Rasulullah SAW, aqidah bukan merupakan disiplin ilmu tersendiri karena
masalahnya sangat jelas dan tidak terjadi perbedaan-perbedaan faham, kalaupun
terjadi langsung diterangkan oleh beliau. Makanya kita dapatkan keterangan para
sahabat yang artinya berbunyi : "Kita diberikan keimanan sebelum
Al-Qur'an"
Nah,
pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib timbul pemahaman -pemahaman
baru seperti kelompok Khawarij yang mengkafirkan Ali dan Muawiyah karena
melakukan tahkim lewat utusan masing-masing yaitu Abu Musa Al-Asy'ari dan Amru
bin Ash. Timbul pula kelompok Syiah yang menuhankan Ali bin Abi Thalib dan
timbul pula kelompok dari Irak yang menolak takdir dipelopori oleh Ma'bad
Al-Juhani (Riwayat ini dibawakan oleh Imam Muslim, lihat Syarh Shohih Muslim
oleh Imam Nawawi, jilid 1 hal. 126) dan dibantah oleh Ibnu Umar karena
terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Para ulama menulis bantahan-bantahan
dalam karya mereka. Terkadang aqidah juga digunakan dengan istilah Tauhid,
ushuluddin (pokok-pokok agama), As-Sunnah (jalan yang dicontohkan Nabi
Muhammad), Al-Fiqhul Akbar (fiqih terbesar), Ahlus Sunnah wal Jamaah (mereka
yang menetapi sunnah Nabi dan berjamaah) atau terkadang menggunakan istilah
ahlul hadits atau salaf yaitu mereka yang berpegang atas jalan Rasulullah SAW
dari generasi abad pertama sampai generasi abad ketiga yang mendapat pujian
dari Nabi SAW. Ringkasnya : Aqidah Islamiyah yang shahih bisa disebut Tauhid,
fiqih akbar, dan ushuluddin. Sedangkan manhaj (metode) dan contohnya adalah
ahlul hadits, ahlul sunnah dan salaf.
D. Bahaya
Penyimpangan Aqidah
Penyimpangan
pada aqidah yang dialami oleh seseorang berakibat fatal dalam seluruh
kehidupannya, bukan saja di dunia tetapi berlanjut sebagai kesengsaraan yang
tidak berkesudahan di akherat kelak. Dia akan berjalan tanpa arah yang jelas
dan penuh dengan keraguan dan menjadi pribadi yang sakit personaliti. Biasanya
penyimpangan itu disebabkan oleh sejumlah faktor diantaranya :
1. Tidak
menguasainya pemahaman aqidah yang benar karena kurangnya pengertian dan
perhatian. Akibatnya berpaling dan tidak jarang menyalahi bahkan menentang
aqidah yang benar.
2. Fanatik kepada
peninggalan adat dan keturunan. Karena itu dia menolak aqidah yang benar.
Seperti firman Allah SWT tentang ummat terdahulu yang keberatan menerima aqidah
yang dibawa oleh para Nabi dalam Surat Al-Baqarah 170 yang artinya : "Dan
apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutlah apa yang telah diturunkan
Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa
yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami." (Apabila
mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui
suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk."
3. Taklid buta
kepada perkataan tokoh-tokoh yang dihormati tanpa melalui seleksi yang tepat
sesuai dengan argumen Al-Qur'an dan Sunnah. Sehingga apabila tokoh panutannya
sesat, maka ia ikut tersesat.
4. Berlebihan
(ekstrim) dalam mencintai dan mengangkat para wali dan orang sholeh yang sudah
meninggal dunia, sehingga menempatkan mereka setara dengan Tuhan, atau dapat
berbuat seperti perbuatan Tuhan. Hal itu karena menganggap mereka sebagai
penengah/arbiter antara dia dengan Allah. Kuburan-kuburan mereka dijadikan
tempat meminta, bernadzar dan berbagai ibadah yang seharusnya hanya ditujukan
kepada Allah. Demikian itu pernah dilakukan oleh kaumnya Nabi Nuh AS ketika
mereka mengagungkan kuburan para sholihin. Lihat Surah Nuh 23 yang artinya : "Dan
jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan penyembahan) Wadd, dan jangan pula
Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr."
5. Lengah dan acuh
tak acuh dalam mengkaji ajara Islam disebabkan silau terhadap peradaban Barat
yang materialistik itu. Tak jarang mengagungkan para pemikir dan ilmuwan Barat
serta hasil teknologi yang telah dicapainya sekaligus menerima tingkah laku dan
kebudayaan mereka.
6. Pendidikan di
dalam rumah tangga, banyak yang tidak berdasar ajaran Islam, sehingga anak
tumbuh tidak mengenal aqidah Islam. Pada hal Nabi Muhammad SAW telah
memperingatkan yang artinya : "Setiap anak terlahirkan berdasarkan
fithrahnya, maka kedua orang tuanya yang meyahudikannya, menashranikannya, atau
memajusikannya" (HR: Bukhari).
Apabila anak
terlepas dari bimbingan orang tua, maka anak akan dipengaruhi oleh acara /
program televisi yang menyimpang, lingkungannya, dan lain sebagainya.
7. Peranan
pendidikan resmi tidak memberikan porsi yang cukup dalam pembinaan keagamaan
seseorang. Bayangkan, apa yang bisa diperoleh dari 2 jam seminggu dalam
pelajaran agama, itupun dengan informasi yang kering. Ditambah lagi mass media
baik cetak maupun elektronik banyak tidak mendidik kearah aqidah bahkan
mendistorsinya secara besar-besaran.
Tidak ada jalan
lain untuk menghindar bahkan menyingkirkan pengaruh negatif dari hal-hal yang
disebut diatas adalah mendalami, memahami dan mengaplikasikan Aqidah Islamiyah
yang shahih agar hidup kita yang sekali dapat berjalan sesuai kehendak Sang
Khalik demi kebahagiaan dunia dan akherat kita, Allah SWT berfirman dalam Surah
An-Nisa' 69 yang artinya : "Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan
Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi
ni'mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid
dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya."
Dan juga dalam
Surah An-Nahl 97 yang artinya : "Barangsiapa yang mengerjakan amal
shaleh baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya
akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan."
Akidah Islam
adalah prinsip utama dalam pemikiran Islami yang dapat membina setiap individu
muslim sehingga memandang alam semesta dan kehidupan dengan kaca mata tauhid
dan melahirkan konotasi-konotasi valid baginya yang merefleksikan persfektif
Islam mengenai berbagai dimensi kehidupan serta menumbuhkan perasaan-perasaan
yang murni dalam dirinya.
Atas dasar ini,
akidah mencerminkan sebuah unsur kekuatan yang mampu menciptakan mu’jizat dan
merealisasikan kemenangan-kemenangan besar di zaman permulaan Islam.
Demi membina
setiap individu muslim, perlu kiranya kita mengingatkannya tentang sumbangsih-sumbangsih
akidah yang telah dimiliki oleh orang-orang sebelumnya dan meyakinkannya akan
validitas akidah itu dalam setiap zaman dan keselarasannya dengan segala era.
Kita bisa
menyimpulkan peranan penting akidah dalam membina manusia di berbagai sisi dan
dimensi kehidupan dalam poin-poin berikut :
1. Dalam Sisi Pemikiran.
Akidah
menganggap manusia sebagai makhluk yang terhormat. Adapun kesalahan yang
terkadang menimpa manusia, adalah satu hal yang biasa dan bisa
diantisipasi dengan taubat. Atas dasar ini, akidah meyakinkannya bahwa ia mampu
untuk meningkatkan diri dan tidak membuatnya putus asa dari rahmat Allah dan
ampunan-Nya
Akidah
telah berhasil memerdekakan manusia dari penindasan politik para penguasa zalim
dan membebaskannya dari tradisi menuhankan manusia lain.
Akidah
juga memberikan kebebasan penuh kepadanya. Namun ia membatasi kebebasan itu
dengan hukum-hukum syariat, penghambaan kepada Allah supaya hal itu tidak
menimbulkan kekacauan.
Begitu
juga, akidah telah berhasil membebaskannya dari jeratan hawa nafsu, menyembah
fenomena-fenomena alam di sekitarnya dan dongengan-dongengan yang tidak benar.
Melalui
proses pembebasn pemikiran ini, akidah melakukan proses pembinaan manusia. Ia
memberikan kedudukan yang layak kepada akal, mengakui peranannya dan membuka
cakrawala pemikiran yang luas baginya. Di samping itu, akidah juga membuka
jendela keghaiban baginya, membebaskannya dari jeratan ruang lingkup indra yang
sempit dan mengarahkan daya ciptanya yang luar biasa untuk merenungkan
tanda-tanda kekuasaan Allah di segenap cakrawala raya dan diri mereka, serta
menjadikan renungan (tafakkur) ini sebagai ibadah yang paling utama.
Tidak
sampai di situ saja, akidah juga mengarahkan daya akal untuk menyingkap
rahasia-rahasia sejarah yang pernah terjadi pada umat dan bangsa-bangsa
terdahulu, dan merenungkan hikmah yang tersembunyi di balik syariat guna
mengokohkan keyakinan muslim terhadap syariat dan validitasnya untuk setiap
masa dan tempat.
Dari
sisi lain, akidah mendorong manusia untuk menuntut ilmu pengetahuan dan
mengikat ilmu pengetahuan itu dengan iman. Karena memisahkan ilmu pengetahuan
dari iman akan menimbulkan akibat jelek.
Akidah
juga memerintahkan akal untuk meneliti dan merenungkan dengan teliti untuk
menyimpulkan sebuah Ushuluddin dan melarangnya untuk bertaklid dalam hal
itu.
2. Dalam Sisi Sosial.
Akidah
telah berhasil melakukan perombakan besar dalam sisi ini. Di saat masyarakat
Jahiliah hanya mementingkan diri mereka dan kemaslahatannya, dengan mengenal
akidah, mereka relah mengorbankan segala yang mereka miliki demi agama dan
kepentingan sosial.
Akidah
telah berhasil menghancurkan tembok pemisah yang memisahkan antara ketamakan
manusia akan kemaslahatan-kemaslahatan pribadinya dan jiwa berkorban demi
kemaslahatan umum dengan cara menumbuhkan rasa peduli sosial dalam diri setiap
individu.
Akidah
telah berhasil menumbuhkan rasa peduli sosial ini dalam diri setiap individu
dengan cara-cara berikut: menumbuhkan rasa ikut bertanggung jawab terhadap
kepentingan orang lain, menanamkan jiwa berkorban dan mengutamakan orang lain
dan mendorong setiap individu muslim untuk hidup bersama.
Dari
sisi lain, akidah telah berhasil merubah tolok ukur hubungan sosial antar
anggota masyarakat, dari tolok ukur hubungan sosial yang berlandaskan
fanatisme, suku, warna kulit, harta dan jenis kelamin menjadi hubungan yang
berlandaskan asas-asas spiritual. Yaitu takwa, fadhilah dan persaudaraan
antar manusia.
Akidah
telah berhasil merubah kondisi pertentangan dan pergolakan yang pernah melanda
masyarakat insani menjadi kondisi salang mengenal dan tolong menolong. Dengan
ini, mereka menjadi sebuah umat bersatu yang disegani oleh bangsa lain.
Di
samping itu, akidah Islam juga telah berhasil merubah tradisi-tradisi Jahiliah
yang menodai kehormatan manusia dan menimbulkan kesulitan.
3. Dalam Sisi Kejiwaan.
Akidah
dapat mewujudkan ketenangan dan ketentraman bagi manusia meskipun bencana
sedang menimpa.
Dalam
hal ini akidah telah menggunakan berbagai cara dan metode untuk meringankan
bencana-bencana itu di mata manusia. Di antara cara-cara tersebut adalah
menjelaskan kriteria dunia;bahwa dunia ini adalah tempat derita dan ujian yang
penuh dengan bencana dan derita yang acap kali menimpa manusia. Oleh karena
itu, tidak mungkin bagi manusia untuk mencari kesenangan dan ketentraman di
dunia ini.
Atas
dasar ini, hendaknya ia berusaha sekuat tenaga demi meraih kesuksesan dalam
ujian Allah di dunia.
Dan
di antara cara-cara tersebut adalah akidah menegaskan bahwa setiap musibah
pasti membuahkan pahala, dan menyadarkan manusia bahwa musibah terbesar yang
adalah musibah yang menimpa agama.
Dari
sisi lain, akidah juga membebaskan jiwa manusia dari segala ketakutan yang
dapat melumpuhkan aktifitas, membinasakan kemampuan dan menjadikannya cemas dan
bingung.
Begitu
juga akidah memotivasi manusia untuk mengenal dirinya. Karena tanpa tanpa itu,
sulit baginya untuk dapat menguasai jiwa dan mengekangnya, dan tidak mungkin
baginya dapat mengenal Allah secara sempurna.
Dari
pembahasan-pembahasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa penyakit-penyakit
jiwa yang berbahaya seperti fanatisme, rakus dan egoisme jika tidak diobati,
akan menimbulkan akibat-akibat sosial dan politik yang berbahaya, seperti
fitnah yang pernah menimpa muslimin di Saqifah, sebagaimana telah
dijelaskan oleh Imam Ali a.s.
4. Dalam Sisi Akhlak.
Akidah
memiliki peranan yang besar dalam membina akhlak setiap individu muslim sesuai
dengan prinsip-prinsip agama yang pahala dan siksa disesuaikan dengannya, dan
bukan hanya sekedar wejangan yang tidak menuntut tanggung-jawab. Lain halnya
dengan aliran-aliran pemikiran hasil rekayasa manusia biasa yang memusnahkan
perasaan diawasi oleh Allah dalam setiap gerak dan rasa tanggung jawab di
hadapan-Nya. Dengan demikian, musnahlah tuntunan-tuntunan akhlak dari kehidupan
manusia. Karena akhlak tanpa iman tidak akan pernah teraktualkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Demi
mendorong masyarakat berakhlak terpuji dan meninggalkan akhlak yang tidak
mulia, akidah mengikuti bermacam-macam metode dalam hal ini: pertama,
menjelaskan efek-efek uhkrawi dan duniawi dari akhlak yang terpuji dan tidak
terpuji.
Kedua, memperlihatkan
suri teladan yang baik kepada mereka dengan tujuan agar mereka terpengaruh oleh
akhlaknya yang mulia dan mengikuti langkahnya
DAFTAR
PUSTAKA
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal
Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264
Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
[1].
Lisaanul ‘Arab (IX/311:عقد) karya Ibnu
Manzhur (wafat th. 711 H) t dan Mu’jamul Wasiith (II/614:عقد).
[2]. Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah, dan Asma’ wa
Shifat Allah.
[3]. Lihat Buhuuts fii ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal
Jamaa’ah (hal. 11-12) oleh Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim al-‘Aql, cet. II/ Daarul
‘Ashimah/ th. 1419 H, ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 13-14) karya
Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd dan Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah
fil ‘Aqiidah oleh Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim al-‘Aql.
[Disalin dari
kitab Al-Qadha wal Qadar, edisi Indonesia Qadha & Qadhar, Penyusun Syaikh
Muhammad Shalih Al-Utsaimin, Penerjemah A.Masykur Mz, Penerbit Darul Haq,
Cetakan Rabi'ul Awwal 1420H/Juni 1999M]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]
No comments:
Post a Comment