LANGKAH
LANGKAH PEMBINAAN AKHLAK
Masalah besar
umat hari ini memasuki era globalisasi terjadinya interaksi dan ekspansi
kebudayaan secara meluas melalui media massa yang di tandai dengan semakin
berkembangnya pengaruh budaya pengagungan materia secara berlebihan
(materialistik), pemisahan kehidupan duniawi dari supremasi agama (sekularistik),
dan pemujaan kesenangan indera mengejar kenikmatan badani (hedonistik). Gejala
ini merupakan penyimpangan jauh dari budaya luhur turun temurun serta merta
telah memunculkan berbagai bentuk Kriminalitas, Sadisme, Krisis moral secara
meluas.
Dunia
pendidikan akhir-akhir ini digoncangkan oleh fenomena kurang menggembirakan
terlihat dari banyaknya terjadi tawuran pelajar, pergaulan a-susila dikalangan
pelajar dan mahasiswa, kecabulan pornografi tak terbendung, sebahagian
cendekiawan berminat tinggi terhadap kehidupan non-science asyik mencari
kekuatan gaib belajar sihir, mencari jawaban dari paranormal menguasai kekuatan
jin, bertapa ketempat angker menyelami black-magic dan mempercayai
mistik. Diperparah oleh limbah budaya barat berbentuk sensate-culture
yang selalu bertalian dengan hedonistik dengan orientasi hiburan selera
rendah 3-S tourisme sun-see-sex dan gaya hidup konsumeristis, rakus,
boros, cinta mode, pergaulan bebas sex ittiba’ syahawat (runtutan
hobi nafsu syahawat), individualistik kebebasan salah arah lepas dari
kawalan agama dan adat luhur dengan tampilan permissivesness dan anarkis.
Budaya
sensate memuja nilai rasa panca indera, menonjolkan
keindahan sebatas yang di lihat (tonton), di dengar, dirasa, di sentuh,
dicicipi, dengan tumpuan kepada sensual, erotik, seronok, kadang-kadang ganas,
mengutamakan kesenangan badani (jasmani). Orientasinya hiburan melulu, terlepas
dari kawalan agama, adat luhur, moral akhlak, ilmu dan filsafat, dan tercerabut
dari budaya dan nilai-nilai normatif lainnya. Seni dibungkus selimut art for
art’s sake, sensual, eksotik, erotik, horor, ganas, yang lazimnya melahirkan
klub malam, night club, kasino dan panti pijat. Budaya sensate ini dipertajam
dampaknya dalam kehidupan remaja oleh budaya popular kekota (urban popular
culture) yang hedonistik (mulai berkembang 1960), dan berkembang lagi US
culture imperialisme (uncle Sam Culture) dan the globalization of lifestyle
gaya hidup global, world wide sing (Madonna, Michael Jakson, dll) sejak tahun
1990 di saat memasuki era globalisasi.
Prilaku
sedemikian banyak melahirkan split personalities, pribadi yang terbelah “too
much science too little faith”, lebih banyak ilmu dengan tipisnya
kepercayaan keyakinan agama, berkembangnya paham nihilisme budaya senang
lenang (culture contenment).
Remaja akan
menjadi aktor utama dalam pentas kesejagatan (millenium ketiga), karena itu
generasi muda (remaja) harus dibina dengan budaya yang kuat berintikan nilai-nilai
dinamik yang relevan dengan realiti kemajuan di era globalisasi. Budaya
adalah wahana kebangkitan bangsa. Maju mundurnya suatu bangsa ditentukan oleh
kekuatan budayanya. Keutuhan budaya bertumpu kepada individu dan himpunan
institusi masyarakat yang memiliki kapasitas berkemampuan dalam mempersatukan
seluruh potensi yang ada. Perkembangan kedepan banyak ditentukan oleh peranan
remaja sebagai generasi penerus dan pewaris dengan kepemilikan ruang
interaksi yang jelas menjadi agen sosialisasi guna menggerakkan
kelanjutan survival kehidupan kedepan. Kecemasan atas penyimpangan
prilaku kemunduran moral dan akhlak, kehilangan kendali para remaja, sepatutnya
menjadi kerisauan semua pihak. Ketahanan bangsa akan lenyap dengan lemahnya
remaja. Saya tidak senang menggeneralisasi kenakalan remaja terjerumus kedalam
lembah dekadensi moral dan kenakalan remaja. Analisa realitas objektif
menunjukkan bahwa tidak seluruhnya remaja rusak. Dengan berpikiran positif
tidak pula harus ditunggu setelah semua remaja terpuruk kedalam lumpur a-moral
barulah upaya perbaikannya dilaksanakan dengan intensif.
Kenakalan
remaja lebih banyak disebabkan rusaknya sistim, pola dan politik pendidikan.
Kerusakan diperparah oleh hilangnya tokoh panutan, berkembangnya kejahatan
orang tua, luputnya tanggung jawab institusi lingkungan masyarakat, impotensi
dikalangan pemangku adat, hilangnya wibawa ulama, bergesernya fungsi lembaga
pendidikan menjadi lembaga bisnis, dan profesi guru dilecehkan.
Menanamkan
kesadaran tanggung jawab terhadap hak dan kewajiban asasi individu secara
amanah, penyayang dan adil dalam memelihara hubungan harmonis dengan alam,
memperkaya warisan budaya dengan setia mengikuti dan mempertahankan, istiqamah
pada agama yang dianaut, teguh politik, kukuh ekonomi, melazimkan musyawarah
dengan disiplin dan bijak memilih prioritas pada yang hak sebagai nilai puncak
budaya Islam yang benar. Sesuatu akan selalu indah selama benar.
Ketahanan umat bangsa terletak pada kekuatan ruhaniyah keyakinan agama dengan
iman taqwa dan siasah kebudayaan. Bila penduduk negeri beriman dan bertaqwa
dibukakan untuk mereka keberkatan langit dan bumi.
“Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa pastilah Kami akan
membukakan (melimpahkan) kepada mereka keberkatan-keberkatan dari langit dan
dari bumi. Tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa
mereka disebabkan perbuatannya”. (QS.7,al-A’raf:96).
Dapat
dipahami bahwa kekuatan hubungan ruhaniyah spiritual emosional dengan iman dan
taqwa memberikan ketahanan bagi umat dan hubungan ruhaniyah ini akan lebih lama
bertahan daripada hubungan struktural fungsional. Hakikatnya generasi yang
menjaga destiny, individu yang berakhlak berpegang pada nilai-nilai mulia iman
dan taqwa yang dipadukan dengan kerja sama berdisiplin gigih serta memiliki
vitalitas tinggi, berjiwa inovatif dengan motivasi yang bergantung kepada Allah
akan tampil menjadi penyelesai masalah. Generasi yang patuh kepada Allah dan
taat beragama akan berkembang secara pasti menjadi agen perubahan sanggup
menghadapi realita baru di era kesejagatan.
Tujuan dari tulisan ini yaitu untuk menambah wawasan
para pembaca, khususnya para mahasiswa jurusan PGMI, fakultas Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga agar mahasiswa dapat mempelajari
dan memahami serta mengimplementasikan ilmu yang ada dalam mata kuliah Aklak
dan Tasawuh, khususnya berkaitan dengan langkah-langkah pembinaan aklak.
1.
Pengertian Akhlak
Akhlak
berasal dari kata “Khuluqun” yang artinya budi pekerti, perangai, tingkah
laku atau tabiat. Akhlak adalah nilai pemikiran yang telah menjadi sikap mental
yang mengakar dalam jiwa, lalu tampak dalam bentuk tindakan dan perilaku yang
bersifat tetap, natural, dan refleks. Jadi, jika nilai islam mencakup semua
sektor kehidupan manusia, maka perintah beramal shalih pun mencakup semua
sektor kehidupan manusia itu.
Akhlak
= Iman + Amal Shalih
Maka akhlak Laa Ilaaha Illallaah
sebagai kumpulan nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan memasuki individu
manusia dan merekonstruksi visi, membangun mentalitas, serta membentuk akhlak
dan karakternya. Demikianlah, Laa Ilaaha Illallaah sebagai kumpulan nilai kebenaran,
kebaikan, dan keindahan memasuki masyarakat manusia dan mereformasi sistem,
serta membangun budaya dan mengembangkan peradabannya.
Menurut Prof. Dr.
Ahmad amin ;
Akhlak ialah suatu
ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya
dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya menyatakan tujuan yang harus
dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk
melakukan apa yang harus diperbuat.
2. Tazkiyat al-Nafs, Tarbiyah al-Dzatiyah
Walaupun islam merinci satuan akhlak
terpuji, namun dengan pengamatan mendalam, kita menemukan satuan tersebut
sesungguhnya mengakar pada induk karakter tertentu. Sedangkan akhlak tercela
seperti penyakit syubhat dan syahwat, sama bersumber dari kelemahan akal dan
jiwa. Dalam dunia tasawuf istilah
pendidikan diri sendiri dapat dikenal dengan istilah Tazkiyat al-Nafs, Tarbiyah
al-Dzatiyah dan Halaqah Tarbawiyah.
A.
Tazkiyah Nafs
Pembersihan
jiwa dari kotoran-kotoran penyakit hati seperti sifat basud, kibir, ujub,
riya’, sum’ ah, thama, rakus, serakah, bohong, tidak amanah, nifaq, syirik dan
lain sebagainya merupakan salah satu misi utama para Rasul Allah. Ada beberapa
ayat al-Qur’an yang menunjukkan atas misi tersebut. Perhatikan do’a Nabi
Ibrahim AS untuk anak cucunya, yang terdapat dalam al-Qur’an:
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو
عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ
إِنَّكَ أَنتَ العَزِيزُ الحَكِيمُ
Artinya:
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (al-Quran) dan Al-Hikmah (as-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Baqarah :129) Kemudian Allah menjawab do’a tersebut dan memberi karunia atas ummat ini sebagaimana firman-Nya:
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُواْ تَعْلَمُونَ
Artinya:
Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Al-Baqarah: 151)
Artinya:
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (al-Quran) dan Al-Hikmah (as-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Baqarah :129) Kemudian Allah menjawab do’a tersebut dan memberi karunia atas ummat ini sebagaimana firman-Nya:
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُواْ تَعْلَمُونَ
Artinya:
Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Al-Baqarah: 151)
B.
Tarbiyah Dzatiyah
Istilah
tarbiyah dzatiyah merupakan sejumlah sarana tarbiyah yang diberikan orang
Muslim, atau Muslimah, kepada dirinya, untuk membentuk kepribadian Islami yang
sempurna diseluruh sisinya; ilmiah, iman, akhlak, sosial, dan lain sebagainya,
dan naik tinggi ketingkatan kesempurnaan manusia. Tarbiyah dzatiyah ini juga
bisa dikatakan pembinaan (tarbiyah) seseorang terhadap dirinya sendiri.
Pembinaan
akhlak merupakan aspek penting dalam tarbiyah dzatiyah. Islam sangat peduli
dengan aspek akhlak (moral) yang baik. Seluruh perintah, larangan, ibadah dan
ketaatan Islam membuahkan hasil positif dalam jiwa dan kehidupan manusia.
Diantara hasil terbesar akhlak terkait dengan hak Allah Swt ialah takut
kepada-Nya. Hasil positifnya terkait dengan hak manusia adalah berakhlak baik
ketika bergaul dengan mereka dan berbuat baik
Akhlak
menjadi salah satu sarana tarbiyah dzatiyah, sekaligus tujuannya pada saat yang
sama. Oleh karena itu, setiap orang muslim harus mentarbiyah dirinya dengan
akhlak yang dianjurkan agama Islam, seperti sabar, thawadhu', dermawan jujur
dan masih banyak alagi akhlak-akhlak mulia yang harus direalisasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
3.
Langkah-Langkah Pembinaan Akhlak
Beribadah
merupakan pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya (Allah Swt). Dalam mewujudkan
pengabdianya manusia berusaha untuk senantiasa bersih atau suci dari segala
dosa-dosa yang melekat pada diri manusia. Upaya-upaya tersebut sudah banyak
dilakukan oleh mereka yang ingin dekat dengan Allah Swt. Salah satunya adalah
pembinaan akhlak yang dalam pembahasan ini lebih ditekankan pada pembinaan
akhlak melalui Tarbiyah Dzatiyah, Tarbiyah al-Nafs dan Halaqah Tarbawiyah.
Disinilah
para ahli perjalanan kepada Allah mengambil langkah pendekatan diri pada
Tuhannya dengan cara muraqabah, muhasabah, musyarathah, mujahadah dan mu’tabah,
dimana cara seperti ini sebagai salah satu sarana tazkiyatun nafs. Manusia yang
senantiasa metazkiyah dirinya akan selalu mengingat bahwa Allah mengawasi
mereka, menanyai mereka dalam proses hisab, dan akan dituntut dengan berbagai
tuntutan yang sedetail-detailnya. Dan tidak ada sesuatu yang dapat
menyelamatkan mereka dari bahaya ini kecuali lazumul muhasabah (muhasabah
secara terus menerus), shidul muraqabah (muraqabah secara benar), muthalabatun
nafsi (menuntut jiwa) dalam semua nafas dan gerak dan muhasabah terhadap jiwa
dalam segala hal dan keadaan.
Barangsiapa
meng-hisab dirinya sebelum dihisab, maka akan ringan hisabnya di hari kiamat,
bisa menjawab pertanyaan yang diajukan, dan mendapatkan tempat kembali yang
baik. Tetapi barang siapa yang tidak meng-hisab dirinya maka akan menyesal
selamanya, akan lama penantiannya di pelataran kiamat, dan berbagai keburukan
akan menyeretnya kepada kehinaan dan murka. Setelah hal itu terungkap, maka
manusia akan mengetahui bahwa tidak ada sesuatu yang dapat menyelamatkan mereka
kecuali ketaatan kepada Allah.
Dalam pada itu Allah telah memerintahkan mereka agar bersabar dan bersiap siaga (murabathah). FirmanNya “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga...” Mereka mempersiap siagakan diri mereka terlebih dahulu dengan musyarathah (menetapkan beberapa syarat), kemudian dengan muraqabah, muhasabah, mu’aqabah, mujahadah dan mu’atabah. Inilah yang kemudian sebagai acuan dalam tazkiyah al-nafs, yaitu upaya manusia membersihkan atau mensucikan dirinya sebagai sarana mendekatkan diri pada Tuhannya.
Dalam pada itu Allah telah memerintahkan mereka agar bersabar dan bersiap siaga (murabathah). FirmanNya “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga...” Mereka mempersiap siagakan diri mereka terlebih dahulu dengan musyarathah (menetapkan beberapa syarat), kemudian dengan muraqabah, muhasabah, mu’aqabah, mujahadah dan mu’atabah. Inilah yang kemudian sebagai acuan dalam tazkiyah al-nafs, yaitu upaya manusia membersihkan atau mensucikan dirinya sebagai sarana mendekatkan diri pada Tuhannya.
Ada
beberapa tahapan mempersiapkan diri (murabathah) dalam bertazkiyah yang
memiliki keterkaitan erat satu sama lain dan membangun sistem pengawasan serta
penjagaan yang kokoh. Kesemua tahapan tersebut penting dijalani agar
benar-benar menjadi “safety net” (jaring pengaman) yang menyelamatkan manusia
dari keterperosokan dan keterpurukan di dunia serta kehancuran di akhirat
nanti. Tahapan tersebut terbagi dalam enam maqam (tingkatan), yaitu:
a. Musyarathah (Penetapan Syarat)
Penetapan
syarat adalah permulaan seseorang melakukan suatu kegiatan. Sebagai contoh
tuntutan orang-orang yang terlihat dalam kongsi perdagangan, ketika melakukan
perhitungan, adalah selamatkan keuntungan. Sebagaimana pedagang meminta bantuan
kepada sekutu dagangnya lalu menyerahkan harta kepadanya agar memperdagangkan
kemudian memperhitungkannya. Demikian pula akal, ia merupakan pedagang di jalan
akherat. Apa yang menjadi tuntutan dan keuntungan tidak lain adalah tazkiyatun
nafs karena dengan hal itulah keberuntungannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya.” Karena keberuntungan tidak lain adalah amal shalih. Dalam
perdagangan ini akal dibantu oleh jiwa, bila dipergunakan dan dikerjakan untuk
hal yang dapat mensucikannya, sebagaimana pedagang dibantu oleh sekutu dan
pembantunya yang memperdagangkan hartanya. Sebagaimana sekutu bisa menjadi
musuh dan pesaing yang memanipulasi keuntungan sehingga perlu terlebih dahulu
dibuat syarat (musyrathah), kemudian diawasi (muraqabah), diaudit (muhasabah)
dan memberi sanksi (mu’aqabah) atau dicela (mu’atabab). Demikian pula akal
memerlukan musyrathah (penetapan syarat kepada jiwa), lalu memberikan berbagai
tugas, menetapkan berbagai syarat, mengarahkan ke jalan kemenangan, dan
mewajibkannya agar menempuh jalan tersebut. Kemudian tidak pernah lupa
mengawasinya, sebab seandainya manusia mengabaikannya niscaya akan terjadi
pengkhianatan dan penyia-nyiaan modal. Kemudian setelah itu ia harus
meng-hisabnya dan menuntut memenuhi syarat yang ditetapkan, karena bagi manusia
keuntungan perdagangan ini adalah syurga firdaus yang tertinggi dan mencapai
sidratul munthaha bersama para nabi dan syuhada’. Oleh sebab itu memperketat
hisab (perhitungan) terhadap jiwa dalam hal ini jauh lebih penting ketimbang
memperketat perhitungan keuntungan dunia, karena keuntungan dunia sangat hina
bila dibandingkan dengan kenikmatan syurga, disamping kenikmatan dunia pasti
lenyap. Tidak ada kebaikan pada kebaikan yang tidak langgeng.
Maka
menjadi keharusan bagi setiap orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir
untuk tidak lalai untuk melakukan muhasabah terhadap jiwanya, memperketat dalam
berbagai gerak, diam, lintasan dan langkah-langkahnya. Apabila hamba memasuki
waktu shubuh dan telah usai melaksanakan shalat shubuh maka hendaknya ia
meluangkan hatinya untuk menetapkan syarat terhadap jiwanya sebagaimana
pedagang meluangkan pertemuan untuk menetapkan syarat-syarat kepada sekutunya
ketika ia menyerahkan barang dagangan kepadanya seraya berkata kepada jiwa;
“Aku tidak mempunyai barang dagangan kecuali umur, jika ia habis maka habislah
modal sehingga tidak ada harapan untuk melakukan perdagangan dan mencari
keuntungan. Di hari yang baru ini Allah telah memberi tempo (waktu) kepadaku,
dia memperpanjang usiaku dan melimpahkan nikmat kepadaku dengan usia itu.
Seandainya Allah mematikan aku niscaya aku akan berandi-manusia sekiranya Allah
mengembalikan aku ke dunia sehari saja agar aku beramal shalih.” Seandainya
jiwa manusia telah meninggal kemudian dikembalikan lagi ke dunia, maka
janganlah menyia-nyiakan hari ini, karena setiap nafas adalah mutiara yang
tiada terkira nilainya. Perlu diketahui bahwa sehari semalam adalah dua puluh
empat jam, maka bersungguh-sungguhlah hari ini untuk mengumpulkan bekal dan
hindari kecenderungan pada kemalasan, kelesuan dan santai yang menyebabkan
tidak dapat meraih derajat ‘iltiyin sebagaimana orang yang telah
mendapatkannya.
b. Muraqabah (Pengawasan)
Muraqabah
atau perasaan diawasi adalah upaya menghadirkan kesadaran adanya muraqabatullah
(pengawasan Allah). Istilah ini diterapkan pada konsentrasi penuh waspada,
dengan segenap jiwa, pikiran dan imajinasi, serta pemeriksaan yang dengannya
sang hamba mengawasi dirinya sendiri dengan cermat. Dengan kata lain muraqabah
adalah upaya diri untuk senantiasa merasa terawasi oleh Allah (muraqabatullah).
Jadi upaya untuk menghadirkan muraqabatullah dalam diri adalah dengan jalan
mewaspadai dan mengawasi diri sendiri.
Bila hal
tersebut tertanam secara baik dalam diri seorang Muslim maka dalam dirinya
terdapat ‘waskat' (pengawasan melekat atau built in control) yakni sebuah
mekanisme yang sudah inheren, dalam dirinya. Artinya ia akan aktif mengawasi
dan mengontrol dirinya sendiri karena ia sadar senantiasa berada di bawah
pengawasan Allah seperti yang dinyatakan dalam al-Qur’an dan Hadits yang
artinya berikut ini:
1)
“...Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Hadid ayat 4), “Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan hatinya, dan kami lebih
dekat kepadanya dari urat lehernya” (QS. Qaf ayat 16),
2)
Kemudian dalam HR. Ahmad, Nabi Saw bersabda, “Jangan engkau mengatakan engkau
sendiri, sesungguhnya Allah bersamamu. Dan jangan pula mengatakan tak ada yang
mengetahui isi hatimu, sesungguhnya Allah mengetahui”.
Muraqabatullah
atau kesadaran tentang adanya pengawasan Allah akan melahirkan ma’iyatullah
(kesertaan Allah) seperti nampak pada keyakinan Rasulullah SAW (QS. At-Taubah
ayat 40) bahwa “Sesungguhnya Allah bersama kita”, ketika Abu Bakar r.a sangat
cemas musuh akan bisa mengetahui keberadaan Nabi dan menangkapnya. Begitu pula
pada diri Nabi Musa a.s ketika menghadapi jalan buntu karena di belakang
tentara Fir’aun mengepung dan laut merah ada di depan mata. Namun ketika umat
pengikutnya panik dan ketakutan, beliau sangat yakin adanya kesertaan Allah. Ia
berkata, “Sekali-kali tidak (akan tersusul). Rabbku bersamaku. Dia akan
menunjukiku jalan”. Kemudian akhirnya Nabi Ibrahim a.s juga dapat menjadi
contoh agung tentang kesadaran akan kesertaan dan pertolongan Allah, Yakni
ketika beliau diseret dan dibakar di api unggun, beliau tetap tenang. Dan benar
saja terbukti beliau keluar dari api unggun dalam keadaan sehat wal afiat
karena Allah telah memerintahkan makhluknya yang bernama api agar menjadi
dingin.
Apabila manusia telah mewasiati jiwanya dan menetapkan syarat kepadanya dengan apa yang telah disebutkan di atas maka langkah selanjutnya adalah mengawasi (muraqabah) ketika melakukan berbagai amal perbuatan dan memperhatikan dengan mata yang tajam, karena jika dibiarkan pasti akan melampaui batas dan rusak.
Apabila manusia telah mewasiati jiwanya dan menetapkan syarat kepadanya dengan apa yang telah disebutkan di atas maka langkah selanjutnya adalah mengawasi (muraqabah) ketika melakukan berbagai amal perbuatan dan memperhatikan dengan mata yang tajam, karena jika dibiarkan pasti akan melampaui batas dan rusak.
Berikut
ini akan disebutkan keutamaan muraqabah dan derajat-derajatnya. Tentang
keutamaan muraqabah, Jibril ‘alaihi salam pernah bertanya tentang ihsan lalu
Rasulullah Saw menjawab: “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau
melihatnya” (Bukhari dan Muslim). Hadits selanjutnya adalah “Beribadah kepada
Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, sekalipun kamu tidak melihata-Nya tetapi
Dia melihatmu” (diriwayatkan Abu Nu’aim di dalam Al- Hilyah, Hadits ini ahsan).
Kemudian ayat-ayat dalam al-Qur’an yang mendukung keutamaan muraqabah adalah:
“Maka apakah Tuhan yang menjaga sedap diri terhadap apa yang diperbuatnya (sama
dengan yang tidak demikian sifatnya)?” (QS. Ar-Ra’d ayat 33), “Tidaklah dia
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?” (QS. Al-Alaq
ayat 14), “Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS. An-Nisa’
ayat 1), “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan
janjinya. Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya” (QS. Al-Ma’arij ayat
32-33). Sebagaimana diceritakan bahwa sebagian dari manusia bertanya tentang
firman Allah: “Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang
demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya” (QS.
Al-Bayianah ayat 8). Ia menjawab maknanya: maknanya yang demikian itu bagi
orang yang merasakan muraqabah Tuhannya, meng-hisab dirinya dan membekali diri
untuk akheratnya. Dzun Nun pernah ditanya: dengan apakah seorang hamba mencapai
syurga? Ia menjawab: “Dengan lima hal yaitu, istiqamah yang tidak mengandung
kelicikan, keseriusan yang tidak disertai kelalaian, muraqabatullah ta’ala
dalam sunyi dan keramaian, menantikan kematian dengan penuh kesiapan
terhadapnya, dan memuhasabah jiwamu sebelum kamu dihisab.”
Manusia, dalam segala ihwal keadaannya, tidak terlepas dari gerak dan diam. Apabila ia merasakan muraqabatullah dalam semua hal tersebut dengan niat, perbuatan yang baik dan menjaga adab maka ia adalah orang yang telah melakukan muraqabah. Jika ia sedang duduk misalnya maka seyogyanya ia duduk menghadap kiblat mengingat sabda Rasullullah SAW: “Sebaik- baik majlis adalah yang menghadap kiblat” (Di riwayatkan oleh Al- Hakim), jika ia tidur di atas tangan dan menghadap kiblat dengan tetap menjaga semua adabnya. Semua itu masuk dalam muraqabah. Bahkan sekalipun tengah membuang hajat, ia tetap menjaga adab-adabnya demi komitmen kepada muraqabah. Seorang hamba tidak terlepas dari tiga keadaan: dalam ketaatan, atau dalam kemaksiatan atau dalam hal yang mubah. Muraqabah-nya dalam ketaatan ialah dengan ikhlas, menyempurnakan, menjaga adab dan melindunginya dari berbagai cacat. Dalam kemaksiatan, maka muraqabahnya ialah dengan taubat, melepaskan, malu dan sibuk melakukan tafakur. Jika dalam hal yang mubah, maka muraqabah-nya ialah dengan menjaga adab kemudian menyaksikan pemberi nikmat dalam kenikmatan yang didapat dan mensyukurinya. Dalam semua keadaan, seorang hamba tidak tidak terlepas dari ujian yang harus disikapinya dengan kesabaran, dan nikmat yang harus disyukurinya. Semua itu adalah muraqabah. Bahkan dalam keadaannya, seorang hamba tidak terlepas dari fardhu Allah kepadanya yang harus dilaksanakan, atau larangan yang harus dihindarinya, atau anjuran yang yang dianjurkannya kepadanya agar ia bersegera mendapatkan ampunan Allah dan berpacu dengan hamba-hamba Allah, atau hal yang mubah yang memberikan kemaslahatan jasad dan hatinya di samping menjadi dukungan terhadap ketaatannya. Masing- masing dari hal tersebut memiliki batasan-batasan yang harus dijaga dengan senantiasa muraqabah: “Dan barang siapa melanggar batas-batas Allah maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri” (QS. At- Thalaq ayat 1). Seorang hamba harus mengontrol diriya dalam semua waktunya dalam ketiga hal tersebut. Jika telah menyelesaikan berbagai kewajiban dan mampu melakukan berbagai keutamaan maka hendaknya ia mencari amal yang paling utama untuk ditekuninya. Jika luput mendapatkan tambahan keuntungan padahal ia mampu untuk mendapatkannya maka ia adalah orang yang terpedaya. Berbagai keuntungan diperoleh melalui berbagai keutamaan yang istimewa. Dengan hal itulah seorang hamba menjadikan bagian dunianya untuk akhirat, sebagaimana firman Allah: “Dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al-Qashas ayat 77). Demikian murabathah yang kedua dengan senantiasa mengawasi amal perbuatan ini.
Manusia, dalam segala ihwal keadaannya, tidak terlepas dari gerak dan diam. Apabila ia merasakan muraqabatullah dalam semua hal tersebut dengan niat, perbuatan yang baik dan menjaga adab maka ia adalah orang yang telah melakukan muraqabah. Jika ia sedang duduk misalnya maka seyogyanya ia duduk menghadap kiblat mengingat sabda Rasullullah SAW: “Sebaik- baik majlis adalah yang menghadap kiblat” (Di riwayatkan oleh Al- Hakim), jika ia tidur di atas tangan dan menghadap kiblat dengan tetap menjaga semua adabnya. Semua itu masuk dalam muraqabah. Bahkan sekalipun tengah membuang hajat, ia tetap menjaga adab-adabnya demi komitmen kepada muraqabah. Seorang hamba tidak terlepas dari tiga keadaan: dalam ketaatan, atau dalam kemaksiatan atau dalam hal yang mubah. Muraqabah-nya dalam ketaatan ialah dengan ikhlas, menyempurnakan, menjaga adab dan melindunginya dari berbagai cacat. Dalam kemaksiatan, maka muraqabahnya ialah dengan taubat, melepaskan, malu dan sibuk melakukan tafakur. Jika dalam hal yang mubah, maka muraqabah-nya ialah dengan menjaga adab kemudian menyaksikan pemberi nikmat dalam kenikmatan yang didapat dan mensyukurinya. Dalam semua keadaan, seorang hamba tidak tidak terlepas dari ujian yang harus disikapinya dengan kesabaran, dan nikmat yang harus disyukurinya. Semua itu adalah muraqabah. Bahkan dalam keadaannya, seorang hamba tidak terlepas dari fardhu Allah kepadanya yang harus dilaksanakan, atau larangan yang harus dihindarinya, atau anjuran yang yang dianjurkannya kepadanya agar ia bersegera mendapatkan ampunan Allah dan berpacu dengan hamba-hamba Allah, atau hal yang mubah yang memberikan kemaslahatan jasad dan hatinya di samping menjadi dukungan terhadap ketaatannya. Masing- masing dari hal tersebut memiliki batasan-batasan yang harus dijaga dengan senantiasa muraqabah: “Dan barang siapa melanggar batas-batas Allah maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri” (QS. At- Thalaq ayat 1). Seorang hamba harus mengontrol diriya dalam semua waktunya dalam ketiga hal tersebut. Jika telah menyelesaikan berbagai kewajiban dan mampu melakukan berbagai keutamaan maka hendaknya ia mencari amal yang paling utama untuk ditekuninya. Jika luput mendapatkan tambahan keuntungan padahal ia mampu untuk mendapatkannya maka ia adalah orang yang terpedaya. Berbagai keuntungan diperoleh melalui berbagai keutamaan yang istimewa. Dengan hal itulah seorang hamba menjadikan bagian dunianya untuk akhirat, sebagaimana firman Allah: “Dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al-Qashas ayat 77). Demikian murabathah yang kedua dengan senantiasa mengawasi amal perbuatan ini.
c.
Muhasabah (Intropeksi)
1) Hakekat Muhasabah
Muhasabah adalah menganalisa terus
menerus atas hati berikut keadaannya yang selalu berubah. Muhasabah juga
berarti usaha seorang Muslim untuk menghitung, mengkalkulasi diri seberapa
banyak dosa yang telah dilakukan dan mana-mana saja kebaikan yang belum
dilakukannya. Selama muhasabah, orang yang merenung pun memeriksa gerakan hati
yang paling tersembunyi dan paling rahasia. Dia menghisab dirinya sendiri
sekarang tanpa menunggu hingga Hari Kebangkitan. Jadi muhasabah adalah sebuah
upaya untuk selalu menghadirkan kesadaran bahwa segala sesuatu yang
dikerjakannya tengah dihisab, dicatat oleh Malaikat Raqib dan Atid sehingga ia
pun berusaha aktif menghisab dirinya terlebih dulu agar dapat bergegas
memperbaiki diri.
Arti muhasabah terhadap mitra usaha
ialah meninjau modal, keuntungan dan kerugian, untuk mencari kejelasan apakah
bertambah atau berkurang. Jika didapatinya bertambah maka pedagang tersebut
mensyukurinya tetapi jika didapatinya merugi maka ia mencarinya dengan
menjaminnya dan berusaha mendapatkannya di masa mendatang. Demikian pula modal
hamba dalam agamanya adalah berbagai kewajiban, keuntungannya adalah berbagai
amal sunnah dan keutamaan, sedangkan kerugiannya adalah berbagai kemaksiatan.
2) Keutamaan Muhasabah
Berikut ini adalah keutamaan
muhasabah. Tentang keutamaan muhasabah, Allah berfirman: “Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa
yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)” (QS. Al-Hasyr ayat 18). Ini
adalah isyarat kepada muhasabah terhadap amal perbuatan yang telah dikerjakan.
Oleh karena itu Umar ra berkata, “hisablah dirimu sebelum kamu dihisab, dan
timbanglah dia sebelum kamu ditimbang.”
Seoarang hamba memulai muhasabahnya.
dengan bertaubat pada Allah SWT. Sebagaimana dalam firman Allah: “Dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung” (QS. An-Nur ayat 31). Taubat adalah meninjau perbuatan dengan menyesalinya
setelah dikerjakan. Nabi SAW bersabda dalam sebuah Hadits Shahih: Sesungguhnya
aku memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya seratus kali dalam
sehari.”
Dalam ayat lain Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari
syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat
kesalahan-kesalahannya” (QS. al- A’raf ayat 201). Dari Umar ra bahwa ia memukul
kedua kakinya dengan cemeti apabila malam telah larut seraya berkata pada dirinya;
“Apakah yang telah kamu perbuat hari ini?” Dari Maimun bin Mahran bahwa ia
berkata: “Seorang hamba tidak termasuk golongan muttaqin sehingga dia menghisab
dirinya lebih keras ketimbang muhasabahnya terhadap mitra usahanya. Al-Hasan
berkata: “Orang mukmin selau mengevaluasi dirinya, ia menghisabnya karena
Allah. Hisab akan menjadi ringan bagi orang-orang yang telah menghisab diri
mereka di dunia, dan akan menjadi berat pada hari kiamat bagi orang-orang yang
mengambil perkara ini tanpa muhasabah.”
Tentang firman Allah: “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)” (QS. al-Qiyamah ayat 2).
Tentang firman Allah: “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)” (QS. al-Qiyamah ayat 2).
Penyesalan ini akan dapat mendorong
seseorang untuk mengevaluasi atau memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah
dilakukan, sehingga perbuatan yang akan dijalani dapat terkontrol dengan baik.
Inilah keutamaan muhasabah.
d.
Mu’aqabah (Menghukum Diri Atas Segala Kekurangan )
Selain sadar akan pengawasan
(muraqabah) dan sibuk mengkalkulasi diri, maka perlu meneladani para sahabat
dan salafus-shaleh dalam meng’iqab (menghukum atau menjatuhi sanksi atas diri
mereka sendiri). Bila Umar r.a terkenal dengan ucapan: “Hisablah dirimu sebelum
kelak engkau dihisab”, maka mu’aqabah dianalogikan dengan ucapan tersebut yakni
“Iqablah dirimu sebelum kelak engkau diiqab”. Umar Ibnul Khathab pernah
terlalaikan dari menunaikan shalat dzuhur berjamaah di masjid karena sibuk
mengawasi kebunnya. Lalu karena ia merasa ketertambatan harinya kepada kebun
melalaikannya dari bersegera mengingat Allah, maka ia pun cepat-cepat
menghibahkan kebun beserta isinya tersebut untuk keperluan fakir miskin. Hal
serupa itu pula yang dilakukan Abu Thalhah ketika beliau terlupakan berapa
jumlah rakaatnya saat shalat karena melihat burung terbang. Ia pun segera
menghibahkan kebunnya beserta seluruh isinya, subhanallah. Betapapun manusia
telah menghisab dirinya tetapi ia tidak terbebas sama sekali dari kemaksiatan
dan melakukan kekurangan berkaitan dengan hak Allah sehingga ia tidak pantas
mengabaikannya, jika ia mengabaikannya maka ia akan mudah terjatuh melakukan
kemaksiatan, jiwanya menjadi senang kepada kemaksiatan, dan sulit untuk
memisahkannya. Hal ini merupakan sebab kehancurannya, sehingga harus diberi
sanksi. Apabila ia memakan sesuap subhat dengan nafsu syahwat maka seharusnya
perut dihukum dengan rasa lapar. Apabila ia melihat orang yang bukan muhrimnya
maka seharusnya mata dihukum dengan larangan melihat. Demikian pula setiap
anggota tubuhnya dihukum dengan melarangnya dari syahwatnya.
Kami menyebutkan hadits Abu Thalhah, ketika hatinya tidak khusu’ karena memperhatikan seekor burung di kebunnya lalu ia menshadaqahkan kebunnya sebagai kafarat hal tersebut. Demikian pula ‘Umar memukul kedua kakinya dengan cemeti setiap malam seraya berkata: Apa yang telah kamu perbuat hari ini? Demikian pula sanksi orang-orang yang bersikap tegas terhadap jiwa mereka. Hal yang mengherankan bahwa manusia menghukum budak, istri dan anak manusia atas akhlak buruk yang mereka lakukan dan keteledoran mereka terhadap suatu perintah, dan manusia memaafkan mereka niscaya urusan mereka akan rusak dan mereka tidak mentaatinya, tetapi kemudian manusia membiarkan nafsu syaitan yang merupakan musuh terbesar bagi manusia menyelimuti jiwanya. Sekiranya manusia berfikir mendalam niscaya manusia menyadari bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan akhirat, karena di dalamnya terdapat kenikmatan abadi yang tiada ujungnya. Tetapi nafsu itulah yang mengeruhkan kehidupan akherat manusia sehingga dia lebih pantas mendapatkan sanksi (mu’aqabah) ketimbang yang lainnya.
Kami menyebutkan hadits Abu Thalhah, ketika hatinya tidak khusu’ karena memperhatikan seekor burung di kebunnya lalu ia menshadaqahkan kebunnya sebagai kafarat hal tersebut. Demikian pula ‘Umar memukul kedua kakinya dengan cemeti setiap malam seraya berkata: Apa yang telah kamu perbuat hari ini? Demikian pula sanksi orang-orang yang bersikap tegas terhadap jiwa mereka. Hal yang mengherankan bahwa manusia menghukum budak, istri dan anak manusia atas akhlak buruk yang mereka lakukan dan keteledoran mereka terhadap suatu perintah, dan manusia memaafkan mereka niscaya urusan mereka akan rusak dan mereka tidak mentaatinya, tetapi kemudian manusia membiarkan nafsu syaitan yang merupakan musuh terbesar bagi manusia menyelimuti jiwanya. Sekiranya manusia berfikir mendalam niscaya manusia menyadari bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan akhirat, karena di dalamnya terdapat kenikmatan abadi yang tiada ujungnya. Tetapi nafsu itulah yang mengeruhkan kehidupan akherat manusia sehingga dia lebih pantas mendapatkan sanksi (mu’aqabah) ketimbang yang lainnya.
e.
Mujahadah (Bersungguh-Sungguh)
Mujabadah adalah upaya keras untuk
bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah kepada Allah, menjauhi segala yang
dilarang Allah dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan-Nya. Kelalaian
sahabat Nabi Saw yakni Ka’ab bin Malik sehingga tertinggal rombongan saat
perang Tabuk adalah karena ia sempat kurang bermujahadah untuk mempersiapkan
kuda perang dan sebagainya. Ka’ab bin Malik mengakui dengan jujur kelalaian dan
kurangnya mujahadah pada dirinya. Ternyata Ka’ab harus membayar sangat mahal
berupa pengasingan/pengisoliran selama kurang lebih 50 hari sebelum akhirnya
turun ayat Allah yang memberikan pengampunan padanya. Rasulullah Muhammad SAW
terkenal dengan mujahadahnya yang luar biasa dalam ibadah seperti dalam shalat
tahajudnya. Kaki beliau sampai bengkak karena terlalu lama berdiri. Namun
ketika bukankah sudah diampuni, seluruh dosamu yang lalu dan yang akan datang.
Beliau menjawab,“Salahkah aku bila menjadi ‘abdan syakuran (hamba yang
senantiasa bersyukur)?”
Diriwayatkan dari seseorang dari
sahabat ‘Ali bin Abi Thalib ra bahwa ia berkata: “aku pernah shalat shubuh di
belakang ‘Ali ra. Ketika salam, Ia menoleh kesebelah kanannya dengan sedih hati
lalu diam hingga terbit matahari kemudian membalik tangannya seraya berkata: “Demi
Allah, aku melihat para shahabat Muhammad SAW dan sekarang aku tidak melihat
sesuatu yang menyerupai mereka sama sekali. Mereka dahulu berdebu dan pucat
pasi, mereka melewatkan malam hari dengan sujud dan berdiri karena Allah,
mereka membaca kitab Allah dengan bergantian pijakan kaki dan jidat mereka,
apabila menyebut Allah, mereka bergetar seperti pohon bergetar terterpa angin,
mata mereka mengucurkan air mata membasahi pakaian mereka, dan orang-orang
sekarang seakan-akan lalai (bila dibandingkan dengan mereka).” Demikian peri
kehidupan generasi salaf yang shalih dalam mensiapsiagakan jiwa dan
mengawasinya (murabathah dan muraqabah). Sehingga mereka dapat bermujahadah
melaksanakan ibadah dengan sungguh-sungguh.
f.
Mu’atabah (Mencela Diri)
Terakhir dari tingkatan murabathah
ini adalah Mu’atabah. Mu’atabah mengandung arti perlunya memonitoring,
mengontrol dan mengevaluasi sejauh mana proses-proses tersebut seperti
mu’ahadah dan seterusnya berjalan dengan baik. Dalam melakukan mu’atabah adalah
mengetahuilah terlebih dahulu bahwa musuh bebuyutan dalam diri manusia adalah
nafsu yang ada di dalam dirinya. Ia diciptakan dengan karakter suka
memerintahkan pada keburukan, cenderung pada kejahatan, dan lari dari kebaikan.
Manusia diperintahkan agar mensucikan, meluruskan dan menuntunnya dengan rantai
paksaan untuk beribadah kepada Tuhan, dan mencegahnya dari berbagai syahwatnya
dan menyapihnya dari berbagai kelezatannya. Jika mengabaikannya maka ia pasti
merajalela dan liar sehingga manusia tidak dapat mengendalikannya setelah itu.
Jika manusia senantiasa mencela dan menegurnya kadang-kadang ia tunduk dan
menjadi nafsu lawwamah (yang amat menyesali dirinya) yang dipergunakan oleh
Allah untuk bersumpah, dan manusia tidak berharap menjadi nafsu muthma’innah
(yang tenang) yang mengajak untuk masuk ke dalam rombongan hamba-hamba Allah
yang ridha dan diridhai. Maka hendaklah manusia tidak lupa sekalipun sesaat
untuk mengingatkannya, dan hendaknya seorang hamba sibuk menasehati orang lain
jika ia tidak sibuk terlebih dahulu menasehati dirinya sendiri. Allah
berfirman: “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu
bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Adz Dzariyat ayat 55).
Jalan yang harus manusia tempuh
adalah berkonsentrasi mengahadapinya lalu menyadarkan akan kebodohan dan
kedunguannya, janganlah manusia terpedaya oleh kelicikan dan “petunjuknya”.
Firman Allah yang berbunyi: “Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala
amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya).
Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Quran pun yang baru (diturunkan) dari
Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main (lagi)
hati mereka dalam keadaan lalai” (QS. Al- Anbiya’ ayat 1-3).
KESIMPULAN
Demikian
cara orang-orang ahli ibadah dalam bermunajat kepada Sang Penolong mereka yaitu
Allah SWT. Tujuan munajat mereka adalah mencari ridha-Nya dan maksud celaan
mereka adalah memperingatkan dan meminta perhatian. Siapa yang mengabaikan
mu’atabah (celaan terhadap diri) dan munajat berarti ia tidak menjaga jiwanya,
dan bisa jadi tidak mendapatkan ridha Allah.
Hikmah
yang dapat kita ambil:
1. Kemajuan rohani
2. Penuntun kebaikan
3. Kesempurnaan iman
4. Keutamaan di hari
kemudian
5. Kebutuhan primer dalam
keluarga
6. Kerukunan antar tetangga
7. Peranan akhlak dalam
pembinaan remaja
8. Akhlak dalam pergaulan
umum
9. Akhlak dalam pembangunan
negara
10. Akhlak dalam hubungan
antar bangsa
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Falsafat dan
Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
Ibnu Qayyim al-Jauziah dkk, Takziatun
Nufus, Terj. Imtihan asy-Syafi’I, Solo: Pustaka Arafah, 2001
Ya’qub Hamzah, Etika Islam,
PembinaanAkhlakul Karimah, Bandung: CV Diponegoro, 1983
No comments:
Post a Comment